Ambisi Thailand menguasai Perdagangan Asia melalui Proyek Terusan Kra, di Ujung Selatan
Telah lama kita mengetahui Singapura sebagai salah satu dari banyaknya negara maju di dunia. Singapura juga menjadi satu-satunya negara maju yang berada di kawasan Asia Tenggara dan selalu mencuri perhatian internasional lewat keberhasilannya dalam menepis stigma negatif negara-negara besar yang mengapit perekonomiannya.
Singapura yang dahulunya dikenal dengan nama Temasik, merupakan sebuah bagian dari Kerajaan Malaysia. Hingga sampai pada 1965, Perdana Menteri Malaysia, Tuanku Abdul Rahman memutuskan untuk mengeluarkan Singapura dari Federasi tersebut, yang berujung pada kemerdekaan Singapura pada 9 Agustus 1965.
Singapura dikenal sebagai negara maju berkat perekonomiannya yang berkembang begitu pesat melampui negara-negara lainnya di kawasan ASEAN. Resep sukses Singapura dalam membangun tatanan perekonomian yang begitu gemilang tidak terlepas dari letaknya yang super strategis.
Negara merlion ini terletak di ujung Semenanjung Malaysia dan dipisahkan oleh Selat Johor. Wilayahnya terdiri atas beberapa pulau dengan pulau terbesar ialah Pulau Singapura. Pulau Singapura dikelilingi oleh pulau-pulau kecil lainnya, antara lain Pulau Sentosa, Pulau Ubin, Pulau Tekong Besar, dan Pulau Eyer Chawan. Namun sayangnya, secara keseluruhan gugus-gugus pulau yang menyusun Negara Singapura didominasi oleh proyek reklamasi, yang diakibatkan karena memang secara geografis Singapura minim daratan.
Letak strategis Singapura ialah diapit oleh Malaysia dan Indonesia yang secara tidak langsung menjadi penghubung jalur perdagangan dunia berkat Selat Malaka yang menjadi perairan terdekat bagi bangsa lain untuk menuju Asia dan Oceania. Akan tetapi, keberuntungan melalui Selat Malaka, tidak selamanya akan berpihak kepada Singapura, sebab ada potensi jalur lain yang dapat membelah Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik menggunakan jarak tempuh yang lebih dekat. Diketahui bahwa jalur tersebut berlokasi Thailand, tepatnya jalur yang membentang dari Provinsi Songkhla ke Provinsi Satun, Thailand Selatan.
Mengenal Provinsi Songkhla
Songkhla merupakan provinsi perbatasan selatan yang dekat dengan Malaysia. Provinsi ini memiliki dua wajah, yakni Songkhla sebagai kota tua dan Hat Yai sebagai kota modern. Songkhla merupakan provinsi terbesar ketiga, setelah Surathani dan Nakhon Si Thammarat, dengan luas wilayah 7.394 kilometer persegi.
Kota Songkhla merupakan pusat administrasi dari Provinsi Songkhla, lantaran terdapat banyak perkantoran dan perwakilan negara lain di kota ini. Sementara itu, kota metropolitan yang banyak dikenal oleh masyarakat dan juga sebagai pusat hiburan adalah Kota Hat Yai, yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan dengan kendaraan roda empat dari Kota Songkhla.
Kota ini dikenal sebagai kota Melayu di Thailand, hal tersebut diakibatkan karena Songkhla berdekatan dengan perbatasan Malaysia, sehingga secara general, Provinsi ini memiliki kemiripan budaya dengan Malaysia.
Oleh karena berbatasan darat dengan Malaysia, wilayah Songkhla yang terletak di Thailand bagian selatan memiliki suatu karakteristik fisik yang membedakannya dari wilayah Thailand pada umumnya. Tidak begitu sulit untuk menemukan masyarakat melayu di kawasan ini. Walaupun demikian, masyarakat Thailand tetap merujuk pada demografi utamanya yang didominasi oleh penganut agama Buddha sebanyak 75 persen. Sebagai sisanya, sekitar 25 persen masyarakat Songkhla menganut agama Islam, yang diklaim merupakan etnis Melayu. Mereka berbicara dalam Bahasa Patani Malay yang berbeda dengan Bahasa Melayu.
Mengenal Proyek Terusan Kra
Proyek Terusan Tanah Genting Kra atau Terusan Kra di Thailand adalah sebuah proyek yang akan mempersiapkan terbentuknya sebuah kanal yang akan membelah melewati daratan Thailand bagian selatan untuk mempersingkat waktu transportasi kapal-kapal dagang internasional yang berlayar menuju Afrika-Eropa-Australia-Amerika-Asia melalui jalur laut, sama seperti Terusan Panama dan Terusan Suez.
Proyek raksasa sepanjang 120 Km dan lebar 500 meter ini diisukan telah dimulai pembangunannya pada tahun 2015 lalu dan akan mencapai masa rampungnya pada tahun 2025 mendatang. Guna menyukseskan mega proyek tersebut, Pemerintah Thailand menggandeng Pemerintah Tiongkok. Penggandengan ini dinilai sangat serius oleh masyarakat internasional lantaran Thailand telah membagi wilayah pengelolaan Terusan Kra kepada pihak Tiongkok yang dimaksudkan untuk mempermudah pembagian kerja.
Untuk diketahui bersama, Proyek Terusan Tanah Genting Kra ini sebenarnya sudah mengudara sejak lama, lebih tepatnya, proyek ini diusulkan pada tahun 1677, ketika Raja Thai Narai yang Agung meminta insinyur Perancis de Lamar meneliti kemungkinan membangun terusan yang pada perencanaan perdananya dimungkinkan untuk dapat menghubungkan antara Songkhla dengan Myanmar.
Ide untuk membangun Terusan Kra mengemuka kembali menyusul penandatanganan MoU antara the China-Thailand Kra Infrastructure Investment and Development dengan Asia Union Group pada tahun 2015 yang lalu. Hal ini juga secara tidak langsung menempatkan Tiongkok sebagai salah satu investor yang berpengaruh pada proyek Terusan Kra.
Plus minus realisasi Terusan Kra terhadap negara-negara tetangga
Terusan Kra merupakan jalur pintas ke Eropa, Timur tengah, India, dan Afrika. Sehingga dengan memanfaatkan Terusan Kra, kapal-kapal dagang tidak perlu lagi melewati Singapura dan Semenanjung Malaysia sebagai tempat pemberhentian dan mendistribusikan barang bawaan sembari berdagang, sehingga dapat memotong waktu perjalanan sampai dengan 72 jam atau 1.200 kilometer, yang artinya akan ada bahan bakar yang dihemat, apabila kapal-kapal dagang tidak lagi melewati Singapura untuk menghindari panjangnya semenanjung Malaysia.
Diprediksi, Terusan Kra pasti akan mengancam kegiatan Hub Port Singapura dan Malaysia sebagai negara “penguasa” Selat Malaka. Kita ketahui bersama, bahwa kedua negara tersebut telah cukup lama memanfaatkan jalur lalulintas utama kapal dagang yang berlayar dari Samudera Hindia menuju Samudera Pasifik.
Berbeda dengan Singapura dan Malaysia, Indonesia sepertinya tidak akan terancam berkat kehadiran Terusan Kra di kemudian hari, kecuali jika kita menjadi hub atau transit pelayaran yang melalui Selat Singapore dan Selat Malaka. Justru sebaliknya, Indonesia akan perlahan menapaki potensi keuntungan dari hadirnya Terusan Kra melalui pelabuhan Kuala Tanjung dan Sabang yang akan berkembang bersama Terusan Kra.
Negara lain yang akan mendapatkan keuntungan besar dari pembangunan kanal ini adalah Myanmar, Kamboja, dan Vietnam. Negara ini memiliki Securities and Exchange Commission yang memungkinkan pengembangan wilayah pesisir untuk meningkatkan industri dan pariwisata di sepanjang pantai timur Thailand.
Vietnam akan mendapat banyak manfaat dari pelayaran di sepanjang pantai selatannya. Dengan cara ini, pengembangan pelabuhan di Vietnam selatan berpotensi bersaing dengan Singapura dan mengubah rute pelayaran secara signifikan. Selain itu, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dikelola oleh Vietnam dapat memaksimalkan status ekonomi di daerah terkonsentrasi nya dan akan menstabilkan ekonomi yang berkelanjutan. Terusan Kra juga dinilai sebagai pusat transportasi bisnis dengan infrastruktur yang lebih canggih untuk mendukung kegiatan bisnis pelayaran di sepanjang negara yang dilalui oleh Terusan Kra.
Selain membawa dampak positif dan negatif kepada negara tetangganya, proyek Terusan Kra juga dinilai dapat merusak hubungan masyarakat asli Thailand dengan masyarakat Melayu di Malaysia yang berbatasan dengan Thailand di bagian selatan. Hal tersebut juga akan semakin diperkeruh dengan hadirnya asimilasi antara masyarakat Thailand dengan masyarakat Melayu yang ada di Malaysia selama ratusan tahun silam yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan permasalahan politik di sekitaranya.
Tentunya, jika Proyek Terusan Kra benar-benar rampung, akan membuat jarak pemisah antara Thailand dan Malaysia yang mengakibatkan krisis identitas di wilayah Thailand bagian Selatan.
Konflik Patani diujung tanduk Proyek Terusan Kra
Provinsi Pattani, Yala, Narathiwat, dan lima distrik di Songkhla — Chana, Na Thawi, Sabayoi, Sadao, dan Thepa — merupakan wilayah Kerajaan Patani (Patani Darussalam) yang berdiri sejak tahun 1390 hingga 1902. Kerajaan Patani merupakan tributary state bagi Kerajaan Siam yang menggunakan indirect rule dengan membiarkan raja-raja lokal atau sultan memerintah wilayah mereka sebagai ganti kesetiaan dan upeti yang dibayarkan kepada Kerajaan Siam.
Kebencian terhadap Kerajaan Siam dimulai pada tahun 1909 dengan adanya Anglo-Siamese Treaty yang menandai dimulainya sentralisasi dan aneksasi Kerajaan Patani oleh Kerajaan Siam. Kekuasaan elit lokal yang mulai hilang semakin memudar setelah diterapkan kebijakan forceful assimilation pada tahun 1930-an. Hal tersebut juga bertepatan dengan seiring diusungnya agenda ultranasionalis pan-Thai oleh Panglima Tinggi Plaek Phibulsongkhram dengan cara melarang penggunaan bahasa minoritas di kantor pemerintahan dan menggantinya dengan bahasa Thai sebagai bahasa nasional, menekankan agama Buddha sebagai agama nasional (berdampak pada pelarangan agama dan hukum Islam di Selatan) serta mengharuskan setiap penduduk di Thailand untuk mengganti nama menjadi nama Thailand.
Pemberontakan pertama pada tahun 1946 yang ditandai dengan terbentuknya Patani People’s Movement (PPM), yang menempatkan Haju Sulong atau Sulong bin Abdul Kadir bin Mohammed el Patani sebagai aktor penting pergerakan mereka. Sulong kemudian menyerukan adanya otonomi dan penghormataan atas kebudayaan serta agama di seluruh wilayah-wilayah bekas Kerajaan Patani.
Menyusul menghilangnya Haji Sulong sebab suatu insiden penculikan, maka semakin banyak muncul kelompok pemberontakan seperti Gabungan Melayu Patani Raya (1950) yang pemberontakkannya masih dilakukan hingga sekarang mengingat hak otonomi tidak pernah secara serius diberikan. Sehingga berdasarkan pada hal tersebut, konflik besar yang melibatkan etnis melayu dan muslim di Thailand dapat saja pecah kembali seiring dengan dirampungkannya Proyek Terusan Kra yang memisahkan wilayah Thailand Selatan dengan daratan utama Thailand.