Indonesia dan Tabiatnya Ekspor Asap ke Negara Tetangga

Hadonia Lazarus Manurung
8 min readNov 5, 2023

--

Indonesia dan tetangganya

Peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kawasan ASEAN beserta negara-negara tetangganya meliputi Malaysia, Singapura, Filipina, Timor Leste, Brunei Darussalam dan Papua Nugini, sumber : https://images.app.goo.gl/qhxmWzqTSUJ6D8F96

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang secara geografis terletak pada posisi strategis, yakni di persilangan antara dua benua (Benua Asia dan Benua Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Karena letak geografisnya yang strategis dan besarnya luas perairan, Indonesia berbatasan langsung di laut dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor-Leste dan Australia.

Indonesia dan kebakaran hutan serta lahan

Sebagai negara yang memiliki jumlah tetangga yang banyak, seharusnya Indonesia menghormati kedaulatan-kedaulatan negara tetangga dalam hal apapun yang mencakup kenyamanan dalam bertetangga. Namun sayangnya, Indonesia belum mampu untuk memenuhi konsekuensi logis tersebut. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Kawasan Asia Tenggara yang suka ekspor asap dari kebakaran hutan dan lahannya. Indikasi ini terlihat nyata sejak Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar, sekitar 161.798 ha lahan pada tahun 1982. Kebakaran tersebut, khususnya terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatera.

Kebakaran Hutan di wilayah Kalimantan, sumber : https://images.app.goo.gl/gdr5KBHucp7w9Z9k8

Kemudian, tercatat beberapa kebakaran hutan dan lahan lainnya yang cukup besar pada tahun 2015 hingga 2019. Pada periode tersebut setidaknya terjadi puluhan kali kebakaran hutan dan lahan dengan kerugian mencapai sekitar 3.009.087,89 ha lahan. Kebakaran hutan dan lahan yang paling besar terjadi pada tahun 2015 yang membakar sekitar setengah dari total keseluruhan lahan di Indonesia yakni 2.270.224,89 ha. Provinsi yang dinyatakan darurat asap antara lain Sumatera Selatan, Jambi, kepulauan Bangka Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Indonesia dan kabut asapnya dalam masalah

Masalah kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu masalah yang belum memiliki penyelesaian jangka panjang dan cenderung terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Hal ini membuat sekelompok masyarakat Malaysia mendesak pemerintahnya untuk menggugat Indonesia. Gugatan ini dilayangkan atas kerugian yang mereka rasakan. Gugatan yang dilayangkan sebesar 1 ringgit atau setara Rp 3.300. Dalam surat desakan yang ditandatangani oleh Guru Besar Universitas Malaya, Khor Swee Kheng, mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk bertanggung jawab. Mereka juga meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin agar kejadian ini tidak terulang lagi.

Profil Khor Swee Kheng, sumber : https://images.app.goo.gl/6xGbBfEcvq2veurU7

Hal tersebut ditempuh karena Pemerintah Indonesia menolak bantuan Malaysia untuk menangani kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap di kawasan. Polemik kabut asap ini pun sempat membuat panas relasi Indonesia dan Malaysia. Hal itu bisa dilihat bahwa kedua menteri lingkungan hidup saling beradu mulut terkait sumber asap Karhutla. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya, menganggap bahwa kabut asap yang menyelimuti Malaysia tidak sepenuhnya berasal dari Indonesia, tetapi juga akibat kebakaran hutan yang juga terjadi di Negeri Jiran, terutama di Sarawak.

Profil Menteri Energi, Teknologi, Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Malaysia, Yeo Bee Yin, sumber : https://images.app.goo.gl/7cRfezwGfFfW5qEJ7

Sementara itu, Menteri Energi, Teknologi, Lingkungan Hidup dan perubahan Iklim Malaysia, Yeo Bee Yin, meminta Siti tak menyangkal data ilmiah yang menunjukkan bahwa arah angin membuat kabut asap karhutla yang telah sampai ke negaranya.

Profil Menteri Siti Nurbaya, sumber : https://images.app.goo.gl/n2aHbBmHzBUTwSNA9

Adanya reaksi dari Malaysia terhadap masalah kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan indikasi bahwa isu kabut asap dari hasil kebakaran hutan dan lahan sudah memiliki implikasi internasional. Isu ini bahkan dapat memiliki potensi yang mengganggu hubungan bilateral kedua negara.

Perspektif hukum Indonesia terhadap aktivitas membakar hutan

Di Indonesia sendiri telah ada orientasi kebijakan luar negeri yang difungsikan untuk merespon isu kebakaran hutan dan lahan. Hal tersebut tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (12) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU lingkungan hidup tersebut berbunyi demikian “Pencemaran lingkungan adalah masuknya zat, energi atau komponen lain dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”.

Dampak Karhutla di wilayah Kalimantan, sumber : https://images.app.goo.gl/fknvkU2iNTkcSCEdA

Selain UU Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997, diperlukan juga regulasi lain seperti Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004, pada Pasal 7 yang berbunyi demikian “Mencegah dan membatasi kerusakan hutan akibat pembakaran hutan yang dilakukan oleh perbuatan manusia”. Menurut Kementerian Kehutanan, pembakaran hutan adalah kegiatan yang dilarang. Namun, pembakaran hutan secara terbatas diperbolehkan hanya untuk tujuan khusus, antara lain pembasmian hama dan penyakit
tumbuhan. Oleh karena itu, UU kehutanan ini diperlukan untuk mengurangi dampak pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.

Upaya restorasi lahan gambut, sumber : https://images.app.goo.gl/Mm1A5UQHHpvXLTZh9

Indonesia pada masa pemerintah Presiden Jokowi telah mengeluarkan serangkaian kebijakan terkait dengan perlindungan hutan dan restorasi gambut. Kebijakan itu antara lain penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan, pendirian Badan Restorasi Gambut yang diberikan mandat untuk merestorasi dua juta hektar lahan gambut rusak dan pembentukan satuan khusus untuk darurat kebakaran hutan dan kabut asap.

Membakar lahan untuk membuka wilayah perkebunan, sumber : https://images.app.goo.gl/9mEeBkjd1VxroCuZ8

Selain itu, Presiden Jokowi juga meneruskan kebijakan moratorium terkait pemberian ijin baru perkebunan pada hutan primer dan lahan gambut yang diinisiasi oleh presiden sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain moratorium hutan, Presiden Jokowi juga mengeluarkan larangan untuk ekspansi baru perkebunan kelapa sawit di lahan hutan dan gambut selama tiga tahun di tahun 2018. Kebijakan ini diambil mengingat masih adanya tradisi pengolahan perkebunan di Indonesia dengan cara membakar lahan sebelum penanaman yang meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan gambut.

Mengenai apakah kebijakan moratorium kehutanan memiliki pengaruh langsung dalam mengurangi laju kerusakan hutan masih diperdebatkan. Namun, satu hal yang jelas — bahwa menghentikan pemberian izin baru perkebunan di kawasan hutan dan memulihkan hutan dan lahan gambut yang rusak adalah kunci untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan.

Perspektif hukum Malaysia terhadap aktivitas membakar hutan

Di Malaysia sendiri, orientasi kebijakan luar negeri terkait kebakaran hutan dan lahan diperlukan untuk memelihara, mengelola dan meningkatkan kemajuan sektor kehutanan tanpa membakar. Oleh karena itu, terdapat beberapa kebijakan luar negeri Malaysia dalam merespon isu
kabut asap di antaranya melakukan pembangunan kehutanan dan produk hutan dimanfaatkan secara optimal oleh manusia dengan tidak membakarnya yang dapat mengakibatkan kabut asap. Oleh karena itu, dalam memanfaatkan sumber daya hutan diperlukan pemahaman oleh seluruh masyarakat akan pentingnya lingkungan hutan bagi kelangsungan hidup manusia.

Kenampakan hutan di Malaysia, sumber : https://images.app.goo.gl/Mid8Jh4VDcswgJhr6

Pemerintah Malaysia juga melakukan peningkatan keunggulan dalam pengelolaan hutan berdasarkan standar Malaysia yang sesuai dengan strategi dan dasar negara. Strategi yang dilakukan Malaysia adalah mencegah kabut asap akibat kebakaran hutan dari Indonesia dengan prinsip “prevention is better than cure”. Hal ini diterapkan bagi industri yang akan melakukan investasi di Malaysia.

Kebakaran hutan di Serawak, Malaysia, sumber : https://images.app.goo.gl/JonHf5zitv6o2Chc6

Tindakan terakhir yang dilakukan oleh Malaysia ialah meningkatkan sektor kehutanan melalui program penghijauan nasional dan internasional. Pemerintah Malaysia sendiri telah secara aktif mendidik perusahaan kehutanan yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan untuk memahami dan menyadari akan pentingnya pelestarian lingkungan di kawasan hutan. Apabila kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hutan telah tumbuh, maka kabut asap dari kebakaran hutan dan pelanggaran terhadap peraturan lingkungan akan berkurang.

Diplomasi untuk meminimalisir akibat kebakaran hutan dan lahan

Pada isu kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, first track diplomacy dalam bentuk diplomasi bilateral dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia sejak tahun 1985. Diplomasi yang dilakukan antara lain adalah melakukan patroli di udara dalam menangani kabut asap dan memberi peringatan kepada masyarakat untuk tidak beraktivitas di luar rumah.

Profil Israr Albar, sumber : https://images.app.goo.gl/K2qMct3onqGqhHJa7

Diplomasi diantara keduanya mengalami perkembangan, berupa perjanjian bilateral mengenai penanggulangan kabut asap dari kebakaran hutan. Pada tahun 1997, terjadi perjanjian bilateral yang menghasilkan MoU mengenai penanggulangan bersama masalah kabut asap. Israr Albar, Kepala Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, memperjelas bahwa Memorandum of Understanding (MoU) tersebut berisi ketentuan pembukaan lahan tanpa membakar (zero burning), pemantauan, pencegahan melalui pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan (peatland management), pemadaman, pengembangan sistem peringatan dini, penegakan hukum, peningkatan kerjasama menangani kabut asap di daerah rawan kebakaran, mempersiapkan sukarelawan petugas kebakaran, dan tenaga medis.

Teknik Zero Burning, sumber : https://images.app.goo.gl/5S878JyHcvE4iXNS8

Pada tahun 2006, diplomasi yang dilakukan antara lain adalah lebih meningkatkan kembali pelatihan terhadap masyarakat sekitar hutan dengan cara pembukaan lahan tanpa membakar (zero burning), peningkatan sukarelawan petugas kebakaran dan tenaga medis.

Sedangkan, second track diplomacy Indonesia dan Malaysia dalam isu kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ini dilakukan sejak tahun 1998 oleh beberapa organisasi non-pemerintah seperti Greenpeace, Center for International Forestry Research (CIFOR), World Wide Fund (WWF) Indonesia, World Wind Fund for Nature (WWF) Malaysia dan Global Envoronment Centre (GEC).

Organisasi non-pemerintah tersebut membantu first track diplomacy dalam mewujudkan negosiasi, berupa mencegah, memberikan informasi penyebab, dampak, kerugian kabut asap, melakukan kerjasama teknis, dan penelitian ilmiah tentang kebakaran hutan yang dapat mengakibatkan kabut asap. Hal ini masih terus di gaungkan sampai saat ini di sepanjang tahunnya.

Profil pelaksanaan kegiatan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, sumber : https://images.app.goo.gl/qiU6JsjCuSZN31fp7

Persetujuan antara Malaysia dan Indonesia tentang Pencemaran Asap Lintas Batas Pencemaran kabut lintas batas adalah masalah besar yang mempengaruhi lingkungan dan kesehatan manusia di kawasan ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN kemudian secara bersama-sama merumuskan suatu panduan dan komitmen hukum yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang berjudul ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas/AATHP) yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan pencemaran kabut asap pada kawasan regional Asia Tenggara.

Perjanjian ini ditandatangani oleh 10 Negara peserta ASEAN pada Juni 2002 dan kemudian came into force pada 25 November 2003. AATHP ini berisi langkah-langkah untuk mencegah, mengawasi, memantau, mengendalikan kebakaran hutan, mengurangi kabut asap, melakukan sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan teknologi dalam menanggulangi kabut asap serta meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan.

Pentingnya ratifikasi Indonesia dapat dilihat dalam kesediaannya untuk secara resmi bergabung dengan upaya regional untuk mengatasi masalah ini dengan meratifikasi perjanjian ini Indonesia mengakui masalah polusi kabut tidak hanya menjadi masalah domestik, tetapi juga masalah ASEAN yang harus diselesaikan bersama dengan negara anggota lainnya.

Upaya tersebut merupakan bentuk penerapan dari disaster diplomacy sebagai solusi dari ketegangan yang terjadi, disaster diplomacy melihat kemungkinan perdamaian dan konflik yang terjadi karena adanya bencana. Hal penting lainnya dari diplomasi bencana adalah diplomasi bukan mengenai cara untuk memperoleh pemasukan entah itu untuk pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah.

Diplomasi ini mengatur mengenai bagaimana cara agar kita mampu mengubah situasi. Mengubah situasi ini dalam artian, mengubah konstelasi politik yang memanas akibat karhutla menjadi harmonis kembali. Sejauh ini, masalah kebakaran hutan dan lahan terhadap hubungan Indonesia dan Malaysia menjadi permasalahan yang mengganggu jika dilihat dari kepentingan nasional kedua negara, namun tidak menghalangi kerjasama di antara keduanya seperti di bidang keamanan, ekonomi, sosial, politik, tenaga kerja, dan pendidikan.

Hal tersebut juga dikatakan oleh Direktorat Hubungan Bilateral Asia Timur dan Pasifik (ASTIMPAS) Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, bahwa masalah kebakaran hutan dan lahan pada kenyataannya tidak merusak terhadap hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia, karena terdapat kebutuhan yang lebih penting yaitu kerjasama dalam menangani kabut asap tanpa mengambil langkah konfrontatif.

--

--