Nelayan Vietnam — si Bang Toyib Lautan Asia, Melaut Terlalu Jauh sampai Lupa Negara Asal

Hadonia Lazarus Manurung
13 min readSep 17, 2023

--

Sengketa Laut Cina Selatan yang tiada berkesudahan ternyata membawa banyak dampak terhadap negara-negara disekitarnya. Salah satu dari dampak tersebut adalah kaburnya wilayah perikanan di masing-masing negara yang dilalui oleh Laut Cina Selatan. Negara-negara salah menerjemahkan wilayah perikanannya karena mereka menggunakan acuan tradisional yang berbeda-beda, seperti Tiongkok dengan peta konvensionalnya.

Peta wilayah Vietnam melalui Laut Cina Selatan, sumber : https://projects.voanews.com/south-china-sea/indonesian/vietnam/

Salah satu dari banyaknya negara yang keliru dalam menerjemahkan wilayah perikanannya karena permasalahan Laut Cina Selatan yang tidak kunjung selesai adalah Vietnam. Vietnam dan Indonesia selama bertahun-tahun terlibat dalam sengketa atas klaim Zona Ekonomi Ekslusif yang tumpang tindih di perairan sekitar Kepulauan Natuna di Laut Cina Selatan.

Kapal nelayan terlihat di teluk kepulauan Ly Son di provinsi Quang Ngai di Vietnam, 10 April 2012. Pada 3 Maret 2012, China menahan 21 nelayan Vietnam dan dua kapal mereka ketika berada di perairan dekat Kepulauan Paracel, sumber : REUTERS/Kham

Kapal berbendera Vietnam terus menangkap ikan di perairan yang diklaim Indonesia sebagai zona ekonomi eksklusifnya bahkan setelah kedua negara mencapai kesepakatan tentang perbatasan, menurut sebuah lembaga kajian kelautan. Bisa dikatakan kapal Vietnam menjadi target buronan yang selalu menghiasi wajah penjagaan laut Indonesia. Sebelum berbicara lebih jauh, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui beberapa hal diantaranya sejarah Vietnam melalui Laut Cina Selatan, posisi Vietnam di Laut Cina Selatan serta kepentingan Vietnam di Laut Cina Selatan.

Album sejarah Vietnam di Laut Cina Selatan

Pasca perang dunia kedua, situasi dan dinamika keamanan memasuki tahap yang berbeda terhadap wilayah bekas Indo-China dengan negara Asia Tenggara yang lainnya. Kolonialisme dan imperialisme digantikan oleh persaingan antara dua negara adidaya, Uni Soviet dengan Amerika Serikat dengan masing-masing Ideologi yang dibawanya meliputi paham liberal di Pihak Amerika Serikat dan paham komunis di Pihak Uni Soviet.

Amerika Serikat dan Uni Soviet saling berebut Vietnam, sumber : https://images.app.goo.gl/Bin32ZuCSoAdMQbJ8

Di pulau dekat dengan Wilayah Spartly dan Paracel, mereka juga memberikan pengaruh, dimana transformasi politik memberikan pengaruh di wilayah tersebut. Adalah negara Vietnam yang mengalami transformasi struktural tersebut yang kemudian memisahkan Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan. Pemisahan diri ini kemudian akan mempengaruhi sengketa Kepulauan Spartly dan Paracel, terutama dalam konteks perebutan antara Tiongkok dengan vietnam yang ada saat itu diwakili oleh Vietnam selatan.

Sekilas situasi Konferensi Jenewa 1954 yang berusaha untuk mendamaikan wilayah Vietnam, sumber : https://images.app.goo.gl/BNFDooTHZxbBUWWWA

Vietnam Selatan alias Republik Vietnam adalah entitas pertama yang bertanggung jawab atas Laut Cina Selatan karena telah menduduki kepuauan Paracel pada awal tahun 1950-an. Hal ini mengacu pada keputusan Konferensi Jenewa di Indocina pada tahun 1954 dan sejak saat itu Vietnam telah menjadi negara pertama yang menginjakkan pangkalan militernya di kepulauan itu pasca kependudukan jepang. Vietnam merupakan Kekuatan militer yang terkuat pada saat itu yang mengitari dan bebas bermanuver di kepulauan tersebut sementara Tiongkok masih sibuk melakukan agenda yang lainnya antara lain masalah Taiwan, Tibet, dll.

Memanasnya hubungan Tiongkok dan Vietnam karena masalah Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/ndkDs25F1e1UnG467

Sampai akhirnya pada tahun 1957, Tiongkok mengecam tindakan Vietnam yang menduduki Kepulauan Paracel yang merupakan integritas wilayah Tiongkok. Gesekan diplomatik inilah yang menjadi cikal bakal pertempuran Paracel tahun 1974. Tetapi berujung pada kekalahan Vietnam selatan dan memilih mundur dari Kepulauan Paracel. Hal ini juga dipengaruhi oleh keputusan Amerika serikat yang mengurangi Jumlah pasukannya di Vietnam Selatan dan menyebabkan Vietnam mengalami kekurangan pasukan sehingga kemudian Tiongkok dengan leluasa memukul mundur pasukan vietnam.

Gambaran perang Vietnam, sumber : https://images.app.goo.gl/4MzhwSxeas5hyhsQ8

Setelah kekalahan Vietnam Selatan oleh Tiongkok, Vietnam utara berterima kasih kepada Tiongkok karena telah melindungi aset teritorinya, tetapi Tiongkok memberikan tanggapan yang berbeda mengenai pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa Tiongkok melindungi wilayahnya sendiri di kepulauan itu, tidak menyangkut wilayah Vietnam. Pada tahun 1975, ketika perang Vietnam berakhir, Vietnam yang bersatu dibawah struktur Komunis dari Utara, sepakat untuk melawan Tiongkok yang mengklaim dirinya memiliki sebagian besar wilayah Kepulauan Spartly dan Paracel.

Le Duan, Mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, sumber : https://images.app.goo.gl/zbMua8id2NmLjQyf9

Setelah penyatuan Vietnam, pemerintah Vietnam kemudian mengirimkan delegasinya ke Tiongkok yang dipimpin oleh Le Duan yang mencoba membicarakan kedaulatan negara Vietnam atas 2 kepulauan tersebut, namun kedatangan ini tidak disambut baik dan menolak permasalahan tersebut. Vietnam mencoba kembali mengangkat masalah ini pada tahun 1977, tetapi pemerintah Tiongkok menolak pembicaraan ini lagi.

Gencatan senjata Tanggu 1978, sumber : https://images.app.goo.gl/RWLqrukLL6Vageeq7

Sebagai respon, Vietnam memutuskan untuk bertindak lebih tegas terhadap Tiongkok. Pada bulan mei tahun 1977, Vietnam memberikan tembakan peringatan terhadap kapal-kapal Tiongkok yang beroprasi di sekitar Kepulauan Spartly. Sebagai hasilnya, peristiwa baku tembak terjadi antara kedua negara tersebut. Pada awal 1978, gencatan senjata telah disepakati oleh kedua negara namun sayangnya kesepakatan tersebut hanyalah bersifat sementara.

Gambaran perang Vietnam-Tiongkok 1980, sumber : https://images.app.goo.gl/97XqojE8R47PsHG76

Tindakan propaganda terus berlanjut sampai akhir 1980-an, yang diikuti dengan peningkatan kemampuan militer oleh masing-masing negara. Pada tahun 1987, Vietnam dan Tiongkok akhirnya mulai saling tembak menembak di daerah Kepulauan Spratly, yang menyebabkan korban di kedua belah pihak. Pada maret 1988 hal itu berubah menjadi konfrontasi yang serius. Konflik angkatan laut pada tahun 1988 merupakan salah satu yang paling parah dalam sejarah konfrontasi militer di Laut Cina Selatan, yang meninggalkan bekas luka kebencian sejarah yang mendalam dari masyarakat Vietnam terhadap Tiongkok hingga sekarang.

Posisi Vietnam di Laut Cina Selatan

Laut Cina Selatan adalah laut semi tertutup yang berbatasan langsung dengan Negara Vietnam di sisi barat, dengan Filipina, Malaysia dan Brunei di sisi timur, Indonesia dan Malaysia di sisi selatan serta Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Tiongkok atau Taiwan di sisi utara. Luas lautan yang dipersengketakan ini totalnya sekitar 550–650 mil laut (lebar) dan 1200 mil laut (panjangnya). Beberapa aktivitas Geopolitik dan klaim atas wilayah dari berbagai Negara sepanjang kawasan Laut Cina Selatan menimbulkan ketidakstabilan situasi politik di kawasan tersebut, dimana klaim tersebut
bersinggungan dengan kedaulatan dan hak berdaulat dengan Negara-negara lain. Salah satu dari banyaknya kedaulatan yang selalu dipertanyakan ialah kedaulatan atas wilayah perikanan.

Peta wilayah Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/UgT9Shs7zD3Qg9aa6

Masing-masing negara yang berkonflik di Laut Cina Selatan memiliki porsi mereka masing-masing. Filipina, Tiongkok dan Taiwan memperebutkan wilayah Scarborough Shoal, Vietnam, Tiongkok dan Taiwan memperebutkan wilayah perairan di barat Kepulauan Spratly, Tiongkok dan Vietnam memperebutkan wilayah Kepulauan Paracel, Malaysia, Kamboja, Thailand dan Vietnam memperebutkan wilayah perairan di Teluk Thailand sementara Singapura dan Malaysia memperebutkan wilayah perairan sekitar Selat Johor dan Selat Singapura.

Pembagian wilayah konflik di Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/M3uWp39kos1vp6w86

Hal tersebut diatas dilengkapi dengan catatan bahwa China, Taiwan dan Vietnam mendasarkan klaim masing-masing berdasarkan pada hak-hak bersejarah atas kepulauan Spratly sementara Filipina, Malaysia dan Brunei mendasarkan klaim masing-masing pada ketentuan kedekatan geografis di bawah UNCLOS 1982.

Polairut Indonesia yang berjaga di lautan Natuna, sumber : https://images.app.goo.gl/2EWoFnWGffbD4PAS9

Indonesia sendiri terbilang adem ayem terhadap permasalahan ini. Hal itu diakibatkan karena Indonesia tidak berbagai wilayah konflik di Laut Cina Selatan yang begitu kontras dengan negara-negara tetangganya. Akan tetapi walaupun demikian, Indonesia masih selalu berjaga di gerbang batas terluarnya di Laut Natuna Utara.

Kepulauan Paracel dan Klaim Vietnam serta potensi tersembunyi

Terletak di wilayah barat laut Laut Timur, Kepulauan Paracel berjarak sekitar 185 mil laut timur pantai Vietnam dan 165 mil laut tenggara pulau Hainan China. Atol dataran rendah ini terdiri dari dua sub-rantai utama meliputi kelompok Cres Cent di barat dan kelompok Amphitrite di utara, dengan atol terisolasi yang tersebar jauh ke laut. Kepulauan Paracel terbentang sejauh 105 mil laut dari Pulau Pohon ke timur laut ke barat daya Pulau Triton dan 100 mil laut ke barat laut North Reef ke tenggara Herald Bank.

Lokasi geografis Kepulauan Paracel, sumber : https://images.app.goo.gl/x4tfSRYUg1FQLuVJA

Di sekitar Kepulauan Paracel, kedalaman laut bervariasi dari 1000 hingga 2000 meter. Terlepas dari perbedaan komposisi, kedekatan fisik dan bayangan nyata dari fitur-fitur ini, perairan dan dasar laut di sekitarnya memainkan peran yang sangat penting dalam perselisihan di wilayah kepulauan Hoang Sa. Klaim energi hidrokarbon Laut Cina Selatan adalah bagian lain dari sengketa kesetaraan maritim ini. Oleh karenanya, Laut Cina Selatan telah dijuluki “Teluk Persia kedua” atau “hidrokarbon El Dorado” karena potensinya yang kaya sebagaimana diberitakan melalui laman Central Intelligence Agency World Factbook (CIA), hal tersebut mencakup selain berspekulasi tentang kemungkinan minyak atau alam serta serangan gas di sekitar Kepulauan Paracel.

Kepulauan Paracel dilihat dari citra satelit, sumber : https://images.app.goo.gl/vadT3tMyrZ4Bv7tW8

Namun fakta empiris tersebut dinafikkan oleh Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (USEIA) pada tahun 2013 yang memberikan sedikit informasi tentang kemungkinan cadangan minyak kurang dari 0,1 triliun kaki kubik gas alam di wilayah tersebut. Analisis geologi dasar USEIA menunjukkan bahwa sebagian besar potensi hidrokarbon konvensional terletak di daerah pesisir dangkal di sekitar Laut Cina Selatan, bukan di perairan yang lebih dalam seperti di sekitar Kepulauan Paracel, sehingga menimbulkan keraguan apakah hidrokarbon konvensional dapat ekonomis. dapat dipulihkan di sana.

Sisi lain Kepulauan Paracel, sumber : https://images.app.goo.gl/JTnxLPFMqDhYh2396

Meskipun Paracels tidak memiliki bentuk hidrokarbon lain, tes awal menjanjikan sejumlah besar metana hidrat, suatu bentuk karbon yang diyakini lebih kuat daripada batu bara, minyak bumi, dan gas lainnya. Karena keterbatasan teknologi dan biaya ekstraksi yang tidak kompetitif dibandingkan dengan gas alam konvensional, metana hidrat tidak ekonomis saat ini, tetapi mewakili “salah satu reservoir bahan bakar berbasis karbon terbesar di dunia” dalam beberapa dekade mendatang.

Bagi Vietnam dan Cina, sebagai negara dengan ekonomi yang kekurangan energi tetapi berkembang dalam masyarakat dengan sejarah panjang dan budaya yang toleran, metana hidrat bisa menjadi harta karun di masa depan jika ladang minyak Gas yang ditemukan di tempat lain di Laut Cina Selatan tidak diangkut di sekitar Kepulauan Paracel.

Kepentingan Vietnam di Laut Cina Selatan

Sengketa yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan tidak lepas dari adanya kepentingan nasional negara-negara yang terlibat dalam konflik tersebut termasuk juga Vietnam. Terkait dengan keterlibatan Vietnam dalam konflik Laut Cina Selatan, tentunya Vietnam sendiri memiliki kepentingan nasional sebagai dasar dalam tindakannya memperebutkan wilayah tersebut. Kepentingan yang dicari adalah keunggulan yang dimiliki perairan itu sendiri terutama minyak dan gas yang melimpah, sehingga dapat ditarik sebuah hipotesa bahwa jika Vietnam memiliki kekuasaan terhadap wilayah tersebut, maka tentunya akan meningkatkan pembangunan Vietnam dari aspek ekonomi mengingat banyaknya kegiatan pelayaran di wilayah ini dan tentunya energi yang melimpah sebagai tujuan utamnya sebagaimana telah kita bicarakan pada bagian sebelumnya.

Kapal Vietnam di Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/y4CzYAedNMKHhS8s6

Vietnam sendiri dalam prosesnya telah melakukan berbagai upaya baru dalam mengejar kepentingannya tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam konsep keamanan energi bahwa terbatasnya jumlah energi di dunia menjadikan negara-negara di dunia berupaya untuk mencari sumber energi yang baru sehingga hal inilah yang menimbulkan fenomena keamanan energi yang sekaligus diincar oleh Vietnam melalui keberpihakannya di Laut Cina Selatan.

Vietnam dibantu Amerika Serikat menggelar latihan bersama di Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/MyVXaVKfeVddvzzv6

Terkait dengan keamanan energi ini, Vietnam telah melakukan berbagai upaya dalam mengejar kepentingannya. Diantara dari upaya tersebut adalah mengagendakan permasalahan tersebut dalam forum ASEAN untuk mendapatkan dukungan serta melakukan beberapa kerjasama strategis dengan negara-negara besar seperti kerjasama militer dengan Amerika Serikat. Pada tahun 2011, angkatan laut Vietnam menggelar latihan bersama dengan Amerika Serikat dengan tujuan meningkatkan kapabilitas tempur dan pertahanan Vietnam.

Petro-Vietnam diisukan bekerja sama dengan perusahaan minyak asal Amerika Serikat untuk memulai aktivitas di Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/VERXkVpaavPS2Brs8

Selain itu, perusahaan minyak dan gas milik Vietnam yaitu PetroVietnam telah melakukan kerjasama dengan perusahaan minyak dari Amerika Serikat dan negara besar lainnya dengan maksud untuk memperkuat klaim Vietnam atas wilayah yang menjadi sengketa tersebut. Namun begitu, permasalahan tersebut sampai saat ini belum mencapai akhir dan masih dalam proses perundingan.

Kaburnya perbatasan Vietnam dengan negara tetangga, Indonesia

Tentunya kita sepakat bahwa perbatasan wilayah laut merupakan masalah penting yang harus didudukkan untuk mengetahui adanya batas negara agar tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. Hal itu tentu tidak dapat dipisahkan dari dominasi laut pada beberapa lapisan kebudayan masyarakat di seluruh dunia. Namun belum adanya kesepakatan batas wilayah laut antara Indonesisa dan Vietnam sebagai akibat dari konflik dan klaim sepihak di Laut Cina Selatan yang tiada berkesudahan memunculkan konflik baru seperti pencurian ikan pada wilayah perikanan negara lain.

Kapal Nelayan Vietnam yang tertangkap mencuri ikan di Perairan Indonesia, sumber : https://images.app.goo.gl/uNizK31Ed8pzUEEB9

Adanya pergesekan batas wilayah antara Indonesia dengan Vietnam menyebabkan konflik dalam masalah pencurian ikan yang masuk ke wilayah perairan masing-masing negara antara wilayah perairan Indonesia ataupun Vietnam. Perebutan batas wilayah masing-masing negara yang belum mencapai kesepakatan sehingga ketika kapal ikan Vietnam ditangkap oleh Indonesia dapat menyangkal bahwa kapal ikan milik Vietnam masih berlayar di wilayah perairan Vietnam dan tidak melanggar batas wilayah perairan Indonesia.

Potret kunjungan Menteri Luar Negeri Vietnam bertemu dengan Mentri Retno Marsudi untuk membahas permasalahan Zona Ekonomi Ekslusif, sumber : https://images.app.goo.gl/YHjJpMsRV2NqLwK2A

Dengan belum terbentuknya kesepakatan antara Vietnam dengan Indonesia mengenai batas wilayah perairan zona ekonomi eksklusif kedua negara membuat sering terjadi perdebatan oleh instansi terkait dilapangan. Untuk mengatasi masalah perbatasan antara Indonesia dan Vietnam, pemerintah Indonesia beserta Vietnam sedang dalam tahap negosiasi untuk menentukan batas-batas wilayah perairan kedua negara.

1978, awal mula pertemuan Indonesia dan Vietnam membahas permasalahan Landas Kontinen, sumber : https://images.app.goo.gl/WofA6juz9Fr7FWrZ8

Sejak Juni 1978 telah dilakukan perundingan penetapan batas Landas Kontinen (LK) antara Indonesia dan Vietnam. Namun meskipun sudah ditetaapkan namun kedua negara masih belum mencapai kesepakatan. Hal itu diakibatkan salah satunya karena antara Indonesia dan Vietnam masih memiliki batas Landas kontinen dan batas ZEE di Laut Cina Selatan. Batas Landas kontinen Vietnam dan Indonesia telah disepakati dan ditandatangani di Hanoi pada tanggal 26 Juni 2003 dan diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen tahun 2003.

Lawatan Presiden Vietnam bersama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011, sumber : https://images.app.goo.gl/WofA6juz9Fr7FWrZ8

Perundingan mengenai Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Vietnam sudah dilaksanakan beberapa kali. Perundingan pertama kali telah dilakukan pada 21 Mei 2010 di Hanoi. Kemudian menyusul pada pembahasan kedua yang diselengarakan pada tanggal 21–24 Oktiber 2010 di Nusa Dua Bali, sedangkan pembahasan ketiga diselenggarakan pada tanggal 25–28 Juli 2011 di Hanoi Vietnam dan pembahasan keempat, dilaksanakan tanggal 3 hingga 5 Juli 2012 di Yogyakarta.

Kunjungan Vietnam ke Indonesia pada 2012 lalu, sumber : https://images.app.goo.gl/s6PyXeyB2p42MAUG7

Hingga pada pertemuan keempat, kedua negara masih memiliki perbedaan dalam usulan garis batas ZEE dan pandangan untuk pembahasan principles and guidelines dalam penarikan garis batas ZEE di Laut Cina Selatan khususnya dalam kerjasama perikanan dan pertukaran titik dasar dan garis pangkal serta kegiatan Coordinated Patrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Vietnam mempunyai rezim yang berbeda serta spekulasi atas penggunaan prinsip tradisional seperti yang dilakukan Tiongkok melalui Nine Dash-line nya.

Pertemuan kedua pemimpin negara pada 2016 lalu, sumber : https://images.app.goo.gl/2UAmpLwr4BjNjPmB8

Dari mulai tahun 2010 sampai dengan tahun 2016, perundingan penetapan
batas maritim Indonesia dan Vietnam telah dilakukan sebanyak delapan kali pertemuan. Pertemuan pada tanggal 22–24 Maret 2016 di Bali merupakan pertemuan ke delapan antara Indonesia dan Vietnam. Tim teknis yang hadir pada saat itu masih membahas mengenai Draft Consolidated Text of the Proposed Principles and Guideline yang menyisakan satu pending paragraf terkait dengan dasar hukum penetapan batas ZEE dan delimitasinya. Kedua negara pada pertemuan terakhir masih mendiskusikan terkait dengan area delimitasi dan garis potensial batas ZEE kedua negara.

Kunjungan terakhir Vietnam pada 2018 lalu membahas masalah yang sama, sumber : https://images.app.goo.gl/D73XfNdgDhBrBaZS7

Namun hingga terakhir pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo terus mendorong agar Vietnam dengan cepat menyelesaikan sengketa perbatasannya dengan Indonesia saat bertemu dengan Presiden Tran Dai Quang di Hanoi pada tanggal 11–12 September 2018 lalu. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pada saat itu, Arrmanatha Nasir mengatakan bahwa memang negosasi perbatasan ZEE tidak mudah, tapi Indonesia selalu mengharapakan jadi political push bagi kedua pemimpin agar permasalahan ini semakin dipercepat untuk diselesaikan. Selama ini, Vietnam tak mengakui Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang merujuk pada Konvensi PBB mengenai Hukum Kelautan (UNCLOS) 1982. Karena masalah ini, sering terjadi insiden di ZEE Indonesia.

Dominasi Illegal Fishing oleh Nelayan Vietnam, akibat kaburnya wilayah perikanan Vietnam

Vietnam merupakan negara pengekspor dengan hasil perikanan yang cukup mendunia, lebih dari sekitar 600 badan usaha Vietnam ikut melakukan ekspor hasil perikanan ke sekitar 165 pasar di dunia. Terdapat 10 negara besar yang menjadi langganan pasar impor hasil perikanan Vietnam meliputi, Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Republik Korea, ASEAN, Australia, Tiongkok, Hongkong, Kanada, Meksiko dan Rusia.

Komoditi ikan tuna Vietnam diminati pasar global, sumber : https://images.app.goo.gl/nYGTK6MhhBrMoovi6

Meskipun Vietnam merupakan salah satu negara pengekspor perikanan yang cukup mendunia, namun Vietnam pun melakukan kegiatan pencurian ikan di Wilayah laut Indonesia dengan jumlah yang cukup besar. Kapal berbendera Vietnam paling banyak masuk wilayah perairan Indonesia dan ditangkap sebanyak 62,84 persen (115 kapal) pada tahun 2010 berbanding terbalik dengan Hongkong yang merupakan pihak asing yang paling sedikit melakukan pelanggaran di wilayah Indonesia yaitu hanya 2 kapal pada rentang waktu 2009 hingga 2014.

Pemberitaan soal penangkapan kapal pelaku illegal fishing Vietnam yang berlayar jauh hingga Natuna, sumber : https://images.app.goo.gl/kmAgQq3aVFe9AqK97

Kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam yang berhasil ditangkap oleh KKP menurut data dari KKP selama tahun 2013 sekitar 17 kapal namun jumlah tersebut sudah menurun dibandingkan dengan jumlah tangkapan di tahun 2012 yang mencapai sekitar 40 kapal yang berasal dari Vietnam. Jumlah tangkapan kapal pelaku pencurian ikan terbesar terjadi pada tahun 2010 dan 2009 dimana KKP berhasil menangkap masing-masing 115 dan 76 kapal nelayan Vietnam.

Aksi pembakaran sekaligus penenggelaman Kapal pelaku illegal fishing Vietnam di Laut Natuna oleh Menteri Susi Pudjiastuti, sumber : https://images.app.goo.gl/sZ8D2xq9uzHeXPx99

Dalam catatan 2014–2015 aktifitas penangkapan IUU Fishing di perairan
Indonesia telah menenggelamkan setidaknya 152 kapal asing dengan Vietnam sebagai penyumbang terbesar pelaku pencurian ikan terbanyak. Pada agustus 2016, dua kapal ikan asing asal Vietnam berhasil diamankan oleh Kapal Perikanan (KP) HIU 14 yang tergabung dalam Operasi Nusantara VI Bakamla RI karena melakukan kegiatan pencurian ikan di perairan Natuna, Kepulauan Riau. sekitar pukul 08.00 WIB dan pukul 09.05 WIB, KP.

Penenggelaman kapal-kapal Vietnam yang tertangkap mencuri ikan di Laut Natuna, sumber : https://images.app.goo.gl/tPkcVqn6WHFAjG2y6

Melalui linimasa terbaru, pada 22 Desember 2022, Indonesia dan Vietnam menyepakati batas zona eksklusif ekonomi (ZEE) kedua negara yang terletak di wilayah Laut China Selatan usai 12 tahun berunding, meski belum ada perinciannya.

Namun walaupun demikian, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengatakan data yang diperoleh melalui pelacakan sinyal sistem identifikasi otomatis menunjukkan bahwa ratusan kapal penangkap ikan Vietnam masih beroperasi di ZEE Indonesia setiap bulan. IOJI juga mengatakan sejak awal Februari, 155 kapal penangkap ikan Vietnam terlihat di perairan ZEE Indonesia. Menanggapi atas hal tersebut, Otoritas Hanoi tidak sama sekali memberikan komentar yang tepat. Alih-alih memberikan penjelasan, Otoritas Hanoi hanya mengklaim bahwa kapal penangkap ikan Vietnam umumnya hanya beroperasi di perairan antara kedua negara yang tumpang tindih dan sedang dalam negosiasi.

--

--