Kisruh Pembuangan Air Limbah Nuklir Jepang ke Laut Lepas, Kini dan Nanti
Selayang pandang Air Limbah Nuklir Jepang
Bencana Fukushima yang terjadi pada 2011 lalu ternyata menimbulkan efek domino yang tidak dapat dihindarkan dewasa ini, sebab ada lebih dari satu juta ton air limbah yang telah diolah untuk kemudian terakumulasi dan siap dialirkan oleh Jepang mulai 24 Agustus 2023 hingga 17 hari kedepan.
Meskipun rencana pembuangan air limbah nuklir tersebut telah menerima lampu hijau dari International Atomic Energy Agency (IAEA) — Badan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-bangsa, namun tetap saja, sebagai tetangga yang baik, Jepang akan mendapati berbagai masalah yang berhubungan dengan negara-negara yang berada di sekitar jalur pembuangan air limbah nuklir tersebut.
Pembelaan oleh Jepang
Pasca tsunami 2011 yang mengakibatkan rusaknya beberapa reaktor pembangkit tenaga nuklir di Fukushima, perusahaan pembangkit listrik asal Jepang, TEPCO telah memompa air untuk mendinginkan batang bahan bakar reaktor nuklir Fukushima sebagai salah satu solusi alternatif nya. Hal tersebut berarti bahwa pabrik TEPCO harus menghasilkan air yang terkontaminasi setiap hari, yang disimpan dalam tangki-tangki besar, dan nantinya, air-air limbah yang telah terkumpul akan menimbulkan masalah baru, soal ketersediaan lahan untuk menampung keberadaan tangki-tangki air limbah.
Sebagai fakta, telah ada lebih dari 1.000 tangki yang telah terisi air untuk memenuhi batang bahan bakar reaktor nuklir Fukushima selama 12 tahun dan Jepang mengatakan bahwa mereka membutuhkan lahan baru yang akan ditempati oleh tangki-tangki tersebut untuk membangun fasilitas baru yang bertujuan untuk menonaktifkan pembangkit listrik itu dengan aman. Melihat banyaknya jumlah tangki yang harus dipenuhi, Jepang tidak menyarankan untuk menimbun tangki-tangki tersebut ke dalam tanah dan lebih memilih untuk membuangnya ke lautan sebagaimana lazimnya praktik yang dilakukan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dimanapun berada.
Reaksi terhadap rencana pembuangan limbah nuklir
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat soal keamanan air limbah nuklir yang dibuang oleh Jepang ke lautan pasifik serta tanggapan dari berbagai pihak, utamanya kalangan konservasionis dan aktivis lingkungan seperti Greenpeace, ternyata tidak sedikit masyarakat jepang yang protes terhadap rencana kontroversial tersebut. Berdasarkan survei yang dilakukan pada Agustus lalu oleh surat kabar Asahi Shimbun, setidaknya terdapat 41% warga jepang yang tidak mendukung rencana tersebut, yang didominasi oleh pelaku usaha makanan laut dan nelayan jepang.
Reaksi senada juga dilontarkan oleh beberapa peneliti, diantaranya Robert Richmond, ahli biologi kelautan dan seorang profesor dari Universitas Hawaii. Pada segmen wawancara dengan Newsday BBC, Robert mengatakan “Kami telah melihat penilaian dampak radiologis dan ekologis yang tidak memadai, sehingga kami sangat khawatir bahwa Jepang hanya tidak mampu mendeteksi apa yang masuk ke dalam air, sedimen, dan organisme. Namun jika hal itu terjadi, maka tidak ada cara lain untuk menghilangkannya… tidak ada cara untuk mengembalikan ‘jin’ ke dalam botolnya,”
Sebagaimana dikutip dari BBC, Tatsujiro Suzuki, seorang profesor teknik nuklir dari Pusat Penelitian Penghapusan Senjata Nuklir Universitas Nagasaki, menambahkan bahwa rencana tersebut sebenarnya “tidak akan menyebabkan polusi serius atau membahayakan masyarakat — jika semuanya berjalan dengan baik”. Namun mengingat TEPCO nyatanya telah gagal dalam mencegah bencana Fukushima 2011 silam, dia tetap khawatir akan potensi pelepasan air yang terkontaminasi secara tidak sengaja tersebut.
Reaksi negara tetangga dan potensi pelanggaran prinsip Hukum Internasional
Tiongkok melalui Kementerian Lingkungan Hidupnya pada Kamis (24/8) lalu telah mengecam aksi yang dilakukan oleh Jepang tersebut sebagai tindakan yang sangat egois serta tidak bertanggung jawab. Sebagai respon atas hal tersebut, Tiongkok akan tetap melakukan penelitian lanjut soal air limbah nuklir Jepang yang telah tiba di wilayah perairannya 240 hari kedepan. Dalam kesempatan yang sama, Tiongkok sendiri menuduh Jepang telah memperlakukan lautan Pasifik seperti saluran pembuangan pribadi.
Sebagai respon atas isu yang tiada berkesudahan sejak 2011 lalu, Beijing telah melarang impor makanan dari 10 dari 47 prefektur di Jepang dan memberlakukan pemeriksaan radiasi sebagai tindakan tambahan. Dikutip dari CNBC, Hong Kong dan Makau, yang keduanya merupakan wilayah Tiongkok, juga mengikuti langkah yang sama pada pekan ini.
Reaksi yang berbeda datang dari Korea Selatan. Melalui statement kenegaraannya, negara yang memiliki konflik perdagangan dengan Jepang di tahun 2019 ini tidak begitu keberatan dengan tindakan sepihak Jepang. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kini, Korea selatan tengah fokus untuk menjalin hubungan yang baik dengan Jepang. Oleh karenanya, Seoul menyatakan “menghormati” temuan IAEA dan mendukung rencana tersebut.
Namun, reaksi yang bersebrangan datang dari sekitar 80% masyarakat Korea selatan yang khawatir terhadap dampak pelepasan air limbah tersebut. Setidaknya, ribuan orang menghadiri unjuk rasa di Seoul yang menyerukan agar pemerintah bertindak, sebab sejumlah pembeli yang khawatir akan gangguan pasokan makanan terpaksa menimbun garam dan kebutuhan-kebutuhan lainnya guna meminimalisir dampak dari radioaktif komoditi laut yang masuk ke pasar Korea selatan.
Parlemen Korea Selatan sebenarnya telah mengeluarkan resolusi pada akhir Juni lalu yang menentang rencana pelepasan air limbah. Namun, pengeluaran resolusi tersebut tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap rencana pembuangan air limbah nuklir oleh Jepang.
Apa yang dilakukan oleh Jepang layaknya seperti membiarkan hewan peliharaan membuang kotoran di halaman rumah tetangga. Prinsip dalam Hukum Internasional yang sudah pasti dilanggar oleh Jepang ialah prinsip “good fences make good neighbors” yang secara harfiah diartikan sebagai “Pagar yang baik akan menciptakan hubungan bertetangga yang baik pula”.
Kita ketahui bersama, bahwa masing-masing negara seharusnya hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada masalah yang cukup berarti yang ditimbulkan oleh salah satu pihak yang mengacaukan hubungan dengan yang lain. Ibarat kata, ada pagar juridis bernama yurisdiksi yang harus dihormati oleh satu dengan yang lain.
Berangkat dari hal tersebut, Jepang seharusnya membicarakan rencana sepihaknya kepada negara-negara yang menjadi tetangganya, yakni Tiongkok dan Korea selatan sebelum benar-benar mengimplementasikannya. Jepang hanya mendengarkan amanat dan saran dari International Atomic Energy Agency yang secara tidak langsung mengabaikan pendapat masing-masing negara tetangganya yang justru akan terkena dampak secara langsung.
Jika dikemudian hari terdapat kerugian yang diderita oleh kedua tetangganya, maka Jepang berkemungkinan untuk membayar biaya ganti kerugian yang ditimbulkan dari aktivitas sepihaknya, membuang air limbah nuklir mengarah ke lautan lepas.
Kesimpulan dan saran
Menurut beberapa sumber, Jepang sempat ingin menimbun air limbah nuklir yang telah ditampung dalam ratusan tangki ke dalam tanah. Namun, rencana tersebut dinyatakan gagal lantaran takut air limbah tersebut akan mengontaminasi tanah yang ada di Jepang. Menguapkan air limbah nuklir ke atmosfer juga ditolak oleh pemerintah Jepang karena dinilai tidak begitu aman, hingga akhirnya Jepang dengan rekomendasi maut dari International Atomic Energy Agency memutuskan untuk mengalirkan air limbahnya melalui Lautan Jepang.
Menanggapi hal tersebut, menurut saya, seharusnya Jepang membeli satu buah pulau yang tidak berpenghuni sebagai tempat untuk menimbun ratusan tangki yang berisi puluhan ton air limbah nuklir nya. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa praktik membeli pulau juga lazim dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk mengurangi kerusakan akibat suatu tindakan berbahaya seperti uji coba bom atom yang dilakukan oleh Amerika serikat di pulau bernama Mururoa Atoll, Polinesia Prancis.