Dosa Myanmar dalam Catatan Kelam Kemanusiaan Etnis Rohingya
Rohingya, tak kenal maka tak sayang
Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine yang juga dikenal sebagai Bangsa Arakan atau Rohang dalam bahasa Rohingya di Myanmar. Rohingya sendiri merupakan kelompok etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh yang secara fakta justru kontradiktif dengan mayoritas masyarakat Myanmar yang didominasi oleh kelompok Sino-Tibet.
Terdapat dua pandangan yang mendefiniskan asal-usul bangsa Rohingya. Para ulama dan sebagian besar masyarakat Rohingya berpendapat bahwa mereka berasal dari bangsa Rakhine, sedangkan para sejarawan mengklaim bahwa bangsa Rohingya telah bermigrasi ke Myanmar dari Bengal. Perpindahan bangsa Rohingya dari Bengal ke Myamnar terjadi selama masa pemerintahan Inggris di Burma, Myanmar yang mengalami puncak migrasi pada tahun 1948 saat Kemerdekaan Myanmar serta selama periode Perang Kemerdekaan Bangladesh berlangsung pada tahun 1971.
Oleh karenanya, berbicara mengenai Rohingya sebenarnya tidak terlalu apdol kalau tidak juga membicarakan tentang Rakhine. Rohingya dan Rakhine merupakan dua kelompok etnis yang berbeda yang keduanya menempati wilayah Arakan yang saat ini bernama Rakhine. Bila Rakhine didominasi oleh etnis beragama Buddha, maka Rohingya didominasi oleh etnis beragama Islam.
Pada 2012 silam, Pemerintah Myanmar memperkirakan total populasi yang mendiami wilayah Rakhine mencapai 3,33 juta jiwa termasuk 2,2 juta jiwa adalah umat Buddha Rakhine dan 1,8 juta jiwa lainnya merupakan etnis Rohingya dengan persebaran umat Rohingya paling banyak berada di wilayah kota Maungdaw, Buthidaung dan Rathedaung.
Rohingya merupakan penduduk asli muslim keturunan Bengali, Panthay (Muslim-Burma-Cina) dan Pashu atau Moken (penduduk Kepulauan Andaman atau yang dikenal juga sebagai Orang Laut dalam Bahasa Melayu). Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa masyarakat Rohingya tinggal di daerah Arakan bagian barat laut Myanmar antara abad ke-9 sampai ke-10 masehi.
Dilihat dari latar belakangnya, etnis Rohingya memiliki total populasi sebesar 15% (sekitar 7 juta jiwa), dimana setengahnya berasal dari Arakan. Mereka melakukan migrasi ke wilayah Myanmar karena mengalami penindasan dari kelompok etnis yang memeluk agama Buddha.
Myanmar dan Rohingya, antara cinta dan benci
Etnis Rohingya mulai mengalami intoleransi yang dikarenakan mereka merupakan Muslim dan identitas etnis serta ciri-ciri fisik mereka yang berbeda dengan warga Myanmar pada umumnya yang adalah keturunan etnis Sino-Tibet. Pada tahun 1948 sampai 1962 etnis Rohingya sempat diakui sebagai warga-warga Myanmar. Pengakuan tersebut bahkan sempat mendapatkan sorotan nasional lantaran terdapat beberapa orang dari kelompok etnis Rohingya yang menjabat sebagai anggota Parlemen dan Menteri, seolah menyiratkan kehidupan yang aman damai pada masyarakat Rohingya.
Namun, kehidupan indah tersebut hanya berlangsung dalam waktu yang singkat karena pada masa Pemerintahan Jendral Ne Win yang berkuasa dari tahun 1962 menandai dimulainya pengingkaran terhadap etnis Rohingya sebagai etnis sekaligus warga negara Myanmar yang sah di mata hukum nasional Myanmar. Pengingkaran ini mengalami puncaknya pada saat diamandemennya Undang-undang Kewarganegaraan Burma pada 1982 yang menghapuskan etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar yang sah.
Awal bulan Oktober 2016 menjadi awal mula gelombang kekerasan terhadap etnis Rohingya memanas kembali. Hal ini terbukti ketika militer Myanmar menuding “teroris Rohingya” menyerang tiga pos polisi di Rakhine dan menewaskan sembilan petugas. Sejak itu, tentara Myanmar dikabarkan melakukan pembunuhan, penyiksaan dan pemerkosaan terhadap warga etnis Rohingya, khususnya di distrik Maungdaw, yang kini sebagian besar masyarakat asli telah diisolasi. Insiden tersebut diatas mulai menandai masa persekusi Myanmar dan ekstrimis Buddha kepada etnis Rohingya.
Seiring berjalannya waktu, penindasan terhadap Muslim Rohingya terus terjadi. Hanya selang beberapa bulan setelah insiden diatas, Pemerintah Myanmar mengerahkan pasukannya ke Provinsi Rakhine yang mengakibatkan puluhan orang tewas saat pasukan pemerintah menyerbu kampung-kampung. Konflik antara etnis Rohingya dan mayoritas penduduk Myanmar yang mayoritas beragama Buddha terjadi seolah tak berkesudahan dengan Myanmar tidak sama sekali menaruh empati kepada kelompok masyarakat minoritas tersebut. Sebagai akibat dari tindakan tersebut, puluhan ribu warga Rohingya terpaksa terlunta-lunta mengungsi ke negara lain, termasuk Indonesia sebagai tempat pemberhentian sementara.
Kebanyakan etnis Rohingya memilih untuk mengungsi ke negara-negara Islam terdekat dari negaranya dikarenakan etnis Rohingya sendiri tidak mendapatkan pengakuan sebagai warga negara di negara mereka sendiri. Tindakan ini tentu memiliki efek domino yang mengakibatkan mereka kesulitan untuk memperoleh akses kesehatan, pendidikan dan perumahan yang layak, mengingat status mereka bukan sebagai warga negara. Kekerasan terhadap mereka juga terus terjadi tanpa berkesudahan karena
pemerintah terkesan mendukung aksi genosida yang dijalankan oleh otoritas Myanmar dan kelompok ekstremis tertentu.
Hingga saat ini telah lebih dari 1.000 jiwa etnis Rohingya tewas. Tidak hanya itu, rumah-rumah dan perkampungan mereka juga dibakar oleh warga dan ekstrimis Buddha yang didukung oleh militer Myanmar. Bahkan, pemerintah terkesan melakukan pembiaran terhadap konflik ini dengan tidak melerai kelompok ekstrimis Buddha dalam kegiatan kontroversinya terhadap etnis Rohingya.
Mengungsi juga bukan merupakan pilihan yang tepat bagi masyarakat Rohingya. Melalui laporan resminya pada 2017 silam, Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan bahwa sekitar 5.200 warga Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh pada kuartal ketiga 2017. Dikatakan ‘beberapa ribu orang’ berada di kawasan di sepanjang perbatasan Myanmar sementara yang sudah berada di dalam wilayah Bangladesh jumlahnya lebih banyak lagi. Tidak banyak dari antara mereka yang selamat kala mengapung terombang-ambing di tengah lautan Hindia yang begitu ganas untuk sampai ke negara tempat mereka mengungsi.
Rohingya dan pembatasan terhadap akses pendidikan dan kesehatan
Sebelum diasingkan di kamp-kamp pengungsian, banyak anak-anak etnis Rohingya yang bersekolah seperti pelajar biasa pada umumnya. Akan tetapi, sebagai akibat dari tindakan represif otoritas Myanmar atas etnis Rohingya, perlahan pelajar yang dulunya sekolah di Rakhine sekarang mulai putus sekolah akibat kebijakan diskriminasi pemerintah terhadap etnis Rohingya.
Ada salah satu sekolah dasar sementara yang dibangun melalui bantuan organisasi internasional namun sekolah tersebut sangat jauh dari kata layak. Salah satu dari banyaknya fasilitas sekolah tersebut ada di kota Sittwe dimana kini, mulai banyak ruang kelas yang tidak memiliki meja, dan hanya ada bangku-bangku kayu rendah. Bahkan, bangku-bangku tersebut tidak cukup untuk menampung semua murid yang ada sehingga beberapa siswa harus duduk di lantai. Setiap kelas ada sekitar 90 anak berdesakan demi untuk bisa bersekolah di sekolah dengan 3 ruang kelas tersebut. Oleh karena keterbatasan itu, setiap anak hanya diperbolehkan mengikuti pelajaran hanya setengah hari karena harus bergantian dengan yang lainnya dari pagi sampai sore hari.
Tidak hanya itu saja, mirisnya Pemerintah Myanmar sendiri juga telah menetapkan peraturan bahwa pendidikan menengah ke atas hanya diperbolahkan untuk warga Myanmar saja yang secara tidak langsung mengakibatkan etnis Rohingya tidak akan mempunyai akses untuk mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah maupun perguruan tinggi. Pemerintah Myanmar juga bahkan membatasi gerak dan ruang etnis Rohingya untuk tidak dapat bepergian ke Universitas maupun sekolah lain yang berada di luar Rakhine.
Selain adanya pembatasan dalam mendapatkan akses pendidikan, etnis
Rohingya juga tidak mendapatkan hak terhadap akses kesehatan. Akibatnya, pihak lain diluar Pemerintahan Myanmar harus memberikan sejumlah bantuan kepada masyarakat Rohingya yang tergusur akibat kebijakan diskriminatif tersebut. Sejumlah badan PBB dan NGO telah lama beroperasi di Negara bagian Rakhine Utara, seperti UNHCR, World Food Programme (WFP), Medecins Sans Frontieres (MSF) dan Action Contre la Faim memberikan bantuan pangan dan medis. Tercatat bahwa WFP telah membantu mendistribusikan bantuan pangan kepada lebih dari 152.000 orang etnis Rohingya.
Rohingya dalam pembatasan akses beribadah
Pemerintah Myanmar juga ikut andil dalam menciptakan konflik rasial dan agama di kalangan masyarakat etnis Rohingya. Human Right Watch melaporkan bahwa pemerintah mengeluarkan perintah agar masjid-masjid masyarakat Rohingya yang diklaim dibangun secara ilegal untuk kemudian dapat dihancurkan. Sebagai akibat dari seruan ini, banyak masjid dan sekolah di Rakhine dan Sittwe yang dirusak serta dibakar. Pemerintah menutup masjid-masjid dan sekolah-sekolah Islam lalu direlokasikan menjadi kantor administrasi pemerintah setempat. Pemerintah juga melarang etnis Rohingya untuk memperbaiki atau merenovasi masjid tersebut.
Selain itu, Human Rights Watch melaporkan bahwa aparat kepolisian dan
militer Myanmar yang berjaga di lokasi konflik tidak segan untuk menembaki etnis Rohingya. Sebagian diantaranya juga turut menyiksa para pemuda Rohingya yang terlibat bentrok dengan Rakhine. Ada juga aparat yang berjaga hanya berdiam diri saat kelompok radikal Buddha membakar perkampungan etnis Rohingya. Daripada memilih untuk melerai konflik, aparat justru menembaki etnis Rohingya yang mencoba untuk memadamkan api.
Etnis Rohingya juga tidak diperkenankan melakukan ibadah apapun pada
bulan Ramadhan. Jika diantara mereka terdapat orang yang melawan, maka mereka akan ditahan dan dihukum. Sebagai pelengkap, otoritas Myanmar juga telah mengumumkan melalui pasal 144 peraturan darurat yang pada dasarnya melarang setiap warga Rohingya berkumpul lebih dari lima orang. Hal ini membuat etnis Rohingya tidak dapat menunaikan ibadah shalat Idul Fitri berjamaah.
Tidak hanya cukup sampai disitu, tradisi silaturahmi ke rumah-rumah sesama Muslim juga tidak diperbolehkan, termasuk pada Hari Raya. Padahal peraturan darurat 144 yang dikeluarkan Myanmar adalah sebagai tanggapan atas situasi konflik etnis antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine yang terjadi pada tahun 2012 dan seharusnya tidak berlaku kepada aktivitas lain yang berada di luar kewajiban beragama. Perlakuan diskriminatif ini terlihat jelas manakala Pemerintah Myanmar masih memperbolehkan umat bergama lain seperti umat Buddha untuk bisa merayakan hari raya agama mereka di kuil maupun di rumah secara hikmat dan tentram.
Indikasi pelanggaran HAM dalam Konflik Rohingya
Pelanggaran terhadap HAM dapat dianggap telah melanggar kewajiban internasional, dikarenakan pengaturan HAM bersifat erga omnes sehingga apabila terjadi pelanggaran, maka pelanggaran tersebut masuk dalam bagian kewajiban internasional sehingga akan menimbulkan tanggung jawab negara. Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di suatu negara berakibat munculnya tuntutan penyelesaian dari berbagai kalangan, dimana pada hakikatnya pelanggaran HAM mempunyai nuansa khusus yaitu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan kealpaan negara (state omission) atas kewajiban tersebut sehingga menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari negara tidak berbuat sesuatu (violation by omission) dan negara berbuat sesuatu (violation by commission).
Hal tersebut sekaligus menempatkan negara sebagai pihak yang berkewajiban untuk melindungi, menjamin dan memenuhi HAM, sehingga dapat disimpulkan pelanggaran HAM akan senantiasa dilakukan oleh negara yang dalam hal ini dioperasionalisasikan oleh segenap aparaturnya.
Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Berbagai faktor pelanggaran hak asasi manusia tersebut dapat dilihat dari adanya penyalagunaan kekuasaan secara sistematis atau terorganisasi yang menimbulkan dampak sebagai lanjutan dari kebijakan negara dan perlakuan diskriminatif terhadap etnis-etnis yang ada di Rakhine.
Diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di Myanmar terhadap masyarakat Rohingya telah menjadi perhatian oleh PBB dan badan-badan hak asasi manusia dunia serta LSM internasional dikarenakan pelanggaran ini termasuk dalam gross and systemic violation human rights. Peristiwa tersebut direspon dengan didapatkannya laporan-laporan bahwa perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap masyarakat Rohingya dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan karena segala tindakan yang dilayangkan oleh Pemerintah Myanmar tidak lagi bersesuaian dengan prinsip-prinsip Hak asasi manusia. Secara lanjut mengenai hal tersebut dapat dilihat dari temuan beberapa instansi, diantaranya :
Report of High Commissioner for Human Rights Situation of Human Rights of Rohingya Muslims and Other Minorities in Myanmar No. 32 tahun 2016
Pelanggaran berat HAM yang dalam laporan High Commissioner for Human Rights Situation of Human Rights of Rohingya Muslims and Other Minorities in Myanmar ini menggunakan istilah groos human rights violations, yaitu meliputi, penghacuran harta benda, pembunuhan dan pengusiran yang menyebakan pengungsian secara massal. Peristiwa pelanggaran ini melibatkan aparat kepolisian dan militer Myanmar bahkan kelompok masyarakat atau etnis lain di negara Myanmar. Secara lengkapnya dapat dilihat pada poin 9 dan 10 yang menyatakan:
“(9)…Many Rakhine contest the claims of the Rohingya to distinct ethnic heritage and historic links to Rakhine State, viewing theRohingya as “Bengali” (illegal imigrants), with no cultural, religious or social ties to Myanmar. The Rakhine have been subject to long standing discrimination by past military Goverments. Since 2012, incidents of religiou intolerance and incitement to hatred by extremist and ultra-nationalist Buddhist group have increased acrros the country. The Rohingys and other Muslims are often portrayed as a “threat to race and religion”
(10) “Against this backdrop, tensions have occasionally erupted into violence. The most recent major outbreak in June and October 2012 led to hundreds of ceases of injury and death, the destruction of property and the displacement of 140.000 people. Access to justice for victims of human rights violations and abuses has, in the meantime, been sorely lacking. The military and other security forces have generally enjoyed impunity.”
Temuan lain dapat dilihat dari Flash Report United Nations tanggal 3 Februari 2017
Laporan ini dibuat oleh Komisi Tinggi HAM PBB, dimana tim OHCHR ini beranggotakan empat (4) orang diberikan akses ke Bangladesh dari tangal 8–23 Januari 2017 untuk mewawancari etnis Rohingya terkait konflik yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar. Tim OHCHR ini difokuskan untuk mengumpulkan kesaksian terkait peristiwa dan kejadian yang terjadi di Rakhine, sehingga melalui kesaksian ini dapat diambil penilaian atas pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Laporan yang disampaikan kepada Sekretaris Jenderal PBB, tim investigasi yang dibentuk oleh Komisi HAM PBB yaitu tim OHCHR ini menyimpulkan bahwa di Myanmar telah terjadi pelanggaran HAM berat yang sistematis dan meluas. Hal itu kemudian dinyatakan dalam poin 16 Report United Nations :
“The testimonies gathered by OHCHR indicate that the attacks against Rohingya villages, and the associated serious violations affecting the right to life and physical integrity and the destruction of houses, food stocks and sources of food make it impossible for Rohingya to live in their villages, thereby creating a coercive environment amounting to forced displacement. The “calculated policy of terror” that the Tatmadaw has implemented in Rakhine since 9 October of violations and abuses; systematic and systemic discrimination; and policies of exclusion and marginalization against the Rohingya that have been in place for decades in Rakhine”
Indikasi pelanggaran HAM dilihat dari Hukum Internasional
Salah satu unsur dari pelanggaran HAM berat adalah menerangkan bahwa tindakan tersebut dilakukan secara meluas (widespread) dan sistematis, dimana unsur meluas dapat diindikasikan dari beberapa hal meliputi jumlah korbannya (tidak tunggal), tindakan yang dilakukan bersifat massal (massive), sering (frequent), berulang-ulang, dalam skala besar dan dilakukan secara kolektif dengan dampak serius (considerable seriousness). Secara lanjut, unsur sistematis dapat diindikasikan dari unsur yang menyatakan adanya pola atau rencana mengenai cara-cara yang akan dilakukan yang kemudian dapat mencerminkan suatu pola tertentu yang diorganisasikan secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap serta didasarkan atas kebijakan yang melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial meskipun bukan merupakan kebijakan negara secara formal.
Unsur sistematis, dalam kasus etnis Rohingya ini dibuktikan dengan adanya pengerahan aparat militer yang telah dikoordinasikan sebelumnya yang didukung oleh perintah atau pernyataan pimpinan pemerintah Myanmar pada saat itu yang didukung oleh penggunan kekuatan bersenjata dengan adanya penembakan yang menimbulkan kematian masyarakat sipil. Fakta ini didukung pula dengan terjadinya kembali kekerasan di Myanmar terhadap etnis Rohingya dimulai pada tahun 2012, yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan, pemerkosaan dan pelanggaran-pelanggaran lain yang dialami oleh kelompok etnis Rohingya di Myanmar.
Hal ini didukung sekaligus oleh Report United Nations Human Rights pada poin 3 dan 4 yang menyatakan:
“Successive Special Rapporteurs have reported patterns of serious human rights violations of the rights to life, liberty and security of the Rohingya by State security forces and other officials. Violations include summary executions, enforced disappearance, arbitrary arrest and detention, torture, and ill treatment, and forced labour. Following the outbreak of the violence in 2012, OHCHR received credible report of the arbitrary arrest and detention of hundreds of Rohingya, incluiding woman and children, and consistent allegations of torture and ill-treatment, incluiding cases of severe beating, burning by cigarettes, burning of beards, forced labour, sexual humiliation and abuse, the denial of medical treatment, degrading conditions of detentions and deaths in custody”
Penjelasan diatas yang didasarkan pada Laporan PBB sebelumnya menjadi bukti terlengkapinya unsur sistematis dalam pelanggaran HAM yang terjadi terhadap etnis Rohingya di Myanmar. Adapun unsur meluas dapat dibuktikan dimulai dari diskriminasi dan kekerasan berupa pencabutan status kewarganegaraan, pemukulan, pembunuhan, penembakan, pembakaran rumah atau desa yang dilakukan oleh aparat militer secara terus menerus hingga mengakibatkan pengungsian massal menuju negara-negara lain.
Penjelasan diatas, menyatakan bahwa kasus Rohingya ini termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat sehingga berdasarkan Statuta Roma dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagai tindakan persekusi yang secara lengkap dijelaskan melalui Pasal 7 Ayat 1 Statuta Roma:
“Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Mahkamah”.
Lebih lanjut, tindakan diskriminatif serta kekerasan yang dilakukan sejak dahulu hingga sekarang juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan genosida berdasarkan pasal 6 Statuta Roma yang menyatakan:
“…Genosida berarti setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagaian, suatu kelompok nasional, etnis, rasa tau keagamaan, seperti misalnya menimbulkan anggota kelompok tersebut, menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok serta memaksa tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut.
Pemerintah Myanmar secara konkret memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyelidikan secara transparan terhadap kasus tersebut, dengan mengadili dan menghukum orang-orang yang terbukti terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat di negaranya. Selain daripada itu, Pemerintah Myanmar juga harus melakukan pemulihan berupa pemberian kompensasi, restitusi maupun rehabilitasi demi kepentingan korban.
Penyelesaian dengan komitmen akan pemenuhan keadilan ini tentu sangat diharapkan oleh semua pihak, namun sayangnya, pandangan tersebut bertolak belakang dengan anggapan pemerintah Myanmar. Myint Swe sebagai ketua Komite Penyelidik Negara bagian Rakhine dan juga selaku Wakil Presiden Myanmar membantah akan adanya kekerasan dan bukti yang menunjukkan terjadinya genosida atau pembunuhan secara massal secara terencana terhadap etnis Rohingya.
Tindakan dan respon personal yang mengatasnamakan negara tesebut terkesan merugikan para pihak terutama korban yang membutuhkan keadilan agar dapat dilakukan tuntutan terhadap para pelaku pelanggaran yang dibebankan kepada negara oleh hukum internasional. Penolakan yang dilakukan oleh Myanmar lagi dan lagi telah berujung pada pengingkaran prinsip denial of justice, dimana pengingkaran tersebut telah juga menunjukkan kegagalan Myanmar dalam menyejajarkan diri dengan negara-negara lainnya, karena gagal menujukan komitmennya dalam melaksanakan kewajiban internasional dengan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Adanya perbedaan pandangan oleh Pemerintah Myanmar sebagai bagian dari komunitas masyarakat internasional justru dengan sengaja mengabaikan tuntutan yang terwujud melalui penyangkalan untuk mengakui serta menolak memberikan informasi. Pengingkaran dan penolakan terhadap upaya-upaya pencapaian keadilan, bukan saja merupakan pelanggaran serius terhadap norma-norma hukum internasional, tetapi menjadi paradoks di tengah pengakuan sebagai negara yang telah demokratis dengan menjunjung rule of law dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Menimbang sanksi internasional yang tepat untuk Otoritas Myanmar dalam Konflik Rohingya
Sanksi dalam Hukum Internasional sejatinya diberikan guna memberikan tekanan politik secara keras kepada pihak yang melanggar ketentuan hukum internasional. Sanksi dalam hukum internasional tidak serta-merta berupa sanksi fisik namun dapat juga berupa sanksi pemutusan hubungan diplomatik, sanksi ekonomi dan sanksi pelepasan dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini dikhususkan untuk menjelaskan terkait sanksi yang akan ditujukan atas pelanggaran prinsip-prinsip penghormatan, jaminan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam kerangka hukum hak asasi manusia internasional.
Adapun sanksi dalam hukum internasional berupa sanksi militer. Sanksi militer merupakan tindakan dengan mengerahkan kekuatan darat, laut maupun udara yang dapat berupa operasi-operasi unjuk kekuatan, blokade melalui kekuatan laut, darat dan udara oleh negara anggota PBB. Pelaksanaan sanksi militer ini dianggap perlu jika terjadi pelanggaran dalam rangka pemeliharaan dan pemulihan perdamaian serta keamanan internasional, khususnya kejahatan terhadap agresi yang dilakukan oleh suatu negara.
Penggunaan kekuatan militer sendiri sebenarnya telah dilarang dalam hukum internasional sebagaimana diatur dan ditetapkan dalam Piagam PBB keculi untuk membela diri. Penjelasan tersebut sekaligus menyatakan bahwa penggunaan kekuatan militer secara umum harus dipahami untuk tidak lagi dianjurkan dikarenakan pelarangan penggunaan kekerasan dalam Piagam PBB yang lebih menekankan untuk membangun perdamaian dan keutuhan wilayah negara sebagaimana diamanatkan melalui norma-norma hukum internasional dan norma hak asasi manusia.
Sehingga didapati bahwa permasalahan terkait pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar terhadap etnis Rohingya tidaklah tepat apabila menggunakan sanksi militer ini.
Sanksi diplomatik dapat dimisalkan berupa tindakan pemutusan hubungan diplomatik, menarik staf diplomat serta dapat menunda kunjungan pejabat dari suatu negara ke negara bermasalah. Sanksi diplomatik mempunyai kelebihan yaitu sanksi yang tidak memerlukan pengeluaran dalam hal pasukan ataupun uang dan alasan untuk dapat mengisolasi rezim dalam negara yang dituju tersebut.
Namun, terdapat dampak negatif yang ditimbulkan oleh pemutusan diplomatik tersebut berupa hilangya informasi intelijen berharga oleh negara pemberi, kurangya komunikasi dengan negara yang dituju dan dapat mengurangi kemampuan untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan yang akan dilaksanakan yang secara lanjut dapat mengurangi efektivitas kebijakan luar negeri yang diatur.
Keberadaan kantor kedutaan di negara dapat membuat lebih mudah untuk mengakses informasi dan melacak peristiwa di negara tersebut yang memungkinkan negara lain untuk dapat mengumpulkan dan menganalisis informasi tindakan atau sikap dari pemerintah dan masyarakat tertentu. Informasi lain yang dimasudkan yaitu tentang hak asasi manusia, tren perekonomian dan subyek penting lainnya.
Formulasi penerapan sanksi lain yang dapat diterapkan terhadap negara yang terindikasi melanggar kaidah-kaidah hukum internasional yaitu sanksi ekonomi. Sanksi ekonomi merupakan upaya untuk mempengaruhi negara yang dituju secara ekonomi dengan tujuan untuk menghukum, memaksa adanya perubahan dalam kebijakan yang salah di negara tersebut untuk menunjukkan keadilan kepada masyarakat internasional dengan cara melakukan pelemahan potensi ekonomi.
Sanksi ekonomi secara umum dapat diwujudkan dengan berbagai macam bentuk, seperti pembatasan perdagangan (kontrol ekspor dan hambatan impor), pembatasan investasi (berupa larangan atau lisensi), pemberian embargo keuangan (adanya pembatasan pinjaman, pemotongan bantuan ekonomi, pembekuan aset, blokade), larangan transaksi keuangan dan taktik ekonomi lainnya. Sanksi ekonomi telah menjadi upaya yang penting untuk menghukum pelaku pelanggaran dikarenakan memiliki tujuan yang telah ditetapkan berupa hukuman (pencegahan), kepatuhan (koersif/ pemaksaan), destabilisasi (subversi), pemberian petunjuk dan symbolism (demonstrative effect).
Penjelasan diatas menunjukkan adanya kemampuan dalam melakukan tindakan pemaksaan oleh masyarakat internasional terhadap negara yang melakukan pelanggaran. Secara umum, sanksi ekonomi dapat diberikan dengan dua cara yaitu melalui Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, masing-masing negara, terutama kebanyakan negara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang tergabung dalam aliansi Uni Eropa.
Menakar apakah sanksi ekonomi akan mudah untuk diterapkan di Myanmar sebenarnya tidak terlepas dari adanya dominasi pihak lain yang menguasai perekonomian Myanmar. Didapati fakta lain bahwa negara Tiongkok berperan penting dalam sektor ekspor dan impor di Myanmar sementara negara-negara berkembang lainnya terutama di kawasan Asia didominasi oleh Amerika Serikat.
Kita ketahui bersama, bahwa keduanya memiliki perpektif yang berbeda dengan upaya pemenuhan prinsip-prinsip Hak asasi manusia. Hal itulah yang dapat menimbulkan adanya keraguan keefektivitasan sanksi ekonomi ini, terlebih dilihat dari keputusan veto yang telah diberikan oleh Tiongkok dalam DK PBB yang telah menjadi wujud nyata keberpihakan Tiongkok terhadap negara Myanmar.
Berbeda dengan Tiongkok, Amerika Serikat justru lebih suka untuk memberikan sanksi dalam kategori individu negara, terutama dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM, namun melihat dari situasi perekonomian di Myanmar akan menjadi hal yang tidak efektif dikarenakan Amerika Serikat tidak menjadi bagian dalam mitra perdagangan strategis Myanmar.
Amerika Serikat dapat melakukan cara lain untuk menyikapi masalah Rohingya ini dengan memberikan himbauan dan tekanan kepada negara-negara Asia bahkan organiasi regional yaitu ASEAN untuk ikut serta dalam pemberian sanksi ekonomi terhadap Myanmar. Guna mendukung taktik dalam pemberian sanksi ekonomi ini, Perserikatan Bangsa-bangsa melalui Resolusi Majelis Umumnya dapat menghasilkan keputusan-keputusan hard law dalam konteks responsibility to protect kepada Myanmar.