Tiongkok dan Ragam Konfrontasinya di Laut Cina Selatan

Hadonia Lazarus Manurung
7 min readAug 29, 2023

--

Mengenal lebih dekat Laut Cina Selatan

Secara geografis, Laut Cina Selatan memiliki luas wilayah sekitar 3 juta km2 dan terletak diantara pantai selatan Tiongkok, bersebelahan utara dengan Taiwan, pantai negara-negara Asia Tenggara di sebelah barat, gugusan pulau di Filipina di sebelah timur, serta Indonesia melalui pulau Kalimantan di sebelah selatan. Secara ringkas, garis batas Laut Cina Selatan menyerupai huruf “U”, dimulai dari perairan Mainan dan berakhir di sebelah timur perairan Taiwan.

Peta Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/BFT2Zym3G2zXRtVX

Oleh karena wilayahnya yang teramat luas, Laut Cina Selatan berbatasan langsung dengan sepuluh negara, diantaranya Brunei Darussalam, Kamboja, Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Di dalam Laut Cina Selatan terdapat banyak terumbu karang, pulau karang (atol), ratusan pulau-pulau kecil tak berpenghuni, serta dua kepulauan besar yakni Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel yang diklaim oleh sejumlah negara.

Selayang pandang konflik perebutan Laut Cina Selatan

Sengketa Laut Cina Selatan pertama kalinya muncul pada pertengahan tahun 1970-an dan masih diperebutkan oleh sekelompok negara hingga saat ini. Tentunya, Laut Cina Selatan diperebutkan bukan tanpa sebab, adalah karena kandungan alam dan mineral di dalamnya serta letaknya yang teramat strategis, membelah jalur pelayaran dari Asia timur menuju Asia selatan dan Oceania.

Negara-negara selain Tiongkok, yang memperebutkan Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/hAfUyFdDGuYVivxP6

Adapun sejumlah negara yang terlibat dalam kronik sengketa Laut Cina Selatan, sebagai claimant states, yaitu Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Taiwan yang mengklaim sebagai bagian dari kedaulatan negaranya masing-masing. Tentunya, masih jelas tergambar diingatan kita, negara superior, Tiongkok adalah aktor utama dalam permasalahan Laut Cina Selatan ini. Diketahui bahwa Tiongkok telah mendasarkan permasalahan ini melalui kaidah historis Kerajaan-kerajaan kuno Tiongkok yang bermuara kepada penggunaan garis demarkasi berupa sembilan garis putus-putus (the nine-dash line), yang disebut juga sebagai lidah sapi atau “cow’s tongue”. Sementara itu, claimant states lainnya menggunakan dasar geografis yang mengacu pada United Nations Convention on the Law of the Sea-Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) tahun 1982.

Jalur perdagangan di kawasan Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/UFMhJiNefL9wEqzW9

Laut Cina Selatan sendiri telah menjadi kawasan yang diperebutkan karena memiliki nilai strategis sebagai Sea Lines of Trade (SLOT) dan Sea Lines of Communication (SLOC) yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, menjadikan jalur Laut Cina Selatan sebagai jalur tersibuk di dunia. Setengah lalu lintas perdagangan dunia tercatat melalui kawasan tersebut. Selain itu, Laut Cina Selatan juga memiliki nilai ekonomis dengan adanya sumber daya alam berupa cadangan minyak dan gas alam.

Salah satu tambang minyak bumi di kawasan Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/D73TxnHbH3s1E5mJA

Nilai strategis tersebut membuat setiap claimant states berupaya untuk mempertahankan kepentingan nasional mereka masing-masing dengan melakukan berbagai manuver, mulai dari peluncuran peta nine dash line oleh Tiongkok, pengajuan gugatan Filipina terhadap Tiongkok ke Pengadilan Arbitrase Permanen PBB hingga tindakan asertif seperti pembangunan pulau- pulau buatan dan kehadiran militer Tiongkok
di Laut Cina Selatan.

Pemberitaan soal keterlibatan Amerika Serikat yang membuat konflik Laut Cina Selatan semakin memanas, sumber : https://images.app.goo.gl/NzYGX6BKJYdB2aXE7

Bahkan, sangking panasnya, isu perebutan wilayah di Laut Cina Selatan telah mengundang superior lain, Amerika Serikat untuk turut meramaikan permasalahan yang ada. Sejarah telah mencatat bahwa Amerika Serikat turut “hadir” melalui kekuatan militernya dengan meningkatkan frekuensi aktivitas Freedom of Navigation Operation (FONOPS) untuk menentang ekspansi Tiongkok di kawasan tersebut.

Kronik Konfrontasi Tiongkok melalui Laut Cina Selatan

Untuk pertama kalinya, klaim Tiongkok bermula pada 1947 ketika Tiongkok berusaha untuk memproduksi peta Laut Cina Selatan dengan upaya internalisasi 9 garis putus-putus dan secara bersamaan, menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut — termasuk Kepulauan Spartly dan Paracel — sebagai wilayah teritorinya. Peta ini kemudian ditegaskan kembali pada saat Partai Komunis berkuasa pada 1953. Klaim ini didasarkan pada sejarah Cina kuno, mulai dari Dinasi Han yang berkuasa pada abad 2 SM sampai dengan Dinasi Ming dan Dinasi Qing abad 13 SM.

Peta nine dash line milik Tiongkok, sumber : https://images.app.goo.gl/XkMDgPeGScQsSGLy5

Adapun Tiongkok melakukan hal tersebut ditujukan untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan Laut Cina Selatan, sembari menjaga warisan leluhur mereka yang telah ada sejak zaman dahulu.

Klaim sepihak oleh Tiongkok ini, untuk pertama kalinya disanggah oleh Taiwan, karena adanya kesalahan penafsiran atas wilayah Taiwan yang dimaknai keliru oleh Tiongkok. Diketahui bahwa Tiongkok mengklaim Kepulauan Spartly dan Paracel — sebagai wilayah teritorinya untuk meniadakan pengakuan terhadap negara Republik Taiwan, yang artinya, Taiwan masih berada di wilayah administrasi Tiongkok.

Peta Kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/ZLSyoWZDGmA3Ui4s9

Di lain sisi, klaim Tiongkok atas Kepulauan Spartly dan Paracel — sebagai wilayah teritorinya juga dibantah oleh Vietnam. Vietnam menyanggah klaim Tiongkok dengan mengatakan bahwa Beijing tidak pernah mengklaim kedaulatan atas kepulauan itu sampai tahun 1940-an serta menambahkan bahwa dua kepulauan itu masuk dalam wilayah mereka. Selain itu Vietnam juga mengatakan mereka menguasasi Paracel dan Spratly sejak abad ke-17 dan memiliki dokumen resmi sebagai bukti.

ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Malaysia di Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/WgZokWhfaAaBvme66

Negara lain yang mengklaim sebagian wilayahnya atas Laut Cina Selatan adalah Filipina yang mengangkat kedekatan secara geografis ke Kepualauan Spratly sebagai landasan klaim sebagian kepulauan itu. Malaysia dan Brunei Darussalam juga mengklaim sebagian kawasan di Laut Cina Selatan itu yang menurut dua negara masuk ke dalam zona ekslusif ekonomi, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Brunei tidak mengklaim dua kepuluaan itu namun Malaysia menyatakan sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah milik mereka.

Perjanjian Perdamaian Fransisco tahun 1951, sumber : https://images.app.goo.gl/hotVifgo97Poq7M7A

Adapun Keenam negara tersebut mengajukan tuntutan mereka atas kepulauan Spratly antara lain berdasarkan sejarah, penemuan, pendudukan sementara atau berulang dan pemeliharaan hubungan dengan salah satu pulau sejak berabad-abad lalu. Dasar tuntutan ini menjadi makin rumit dengan adanya pendudukan pulau-pulau Spratly oleh Perancis pada abad 19 dan 20 serta pendudukan Jepang pada abad 20. Kekalahan Jepang dan tercapainya Perjanjian Perdamaian Fransisco tahun 1951 yang tidak menyebutkan penyerahan pulau-pulau yang ada di Kepulauan Spratly kepada negara-negara sekitarnya, telah menyebabkan Tiongkok, Vietnam, Filipina, dan Taiwan menuntut bahwa Kepulauan Spratly dan Paracel adalah wilayah mereka.

Latihan militer oleh Tiongkok di Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/5ifiL1Gfbz7aXeK88

Klaim sepihak oleh Tiongkok tidak hanya berkutat pada seputaran Kepulauan Spratly dan Paracel, melalui konfrontasi berupa larangan dan tindakan keras terhadap negara-negara yang telah mendasarkan sebagian wilayah Laut Cina Selatan menjadi zona ekonomi ekslusifnya serta pendirian fasilitas di beberapa sudut wilayah Laut Cina Selatan sembari melakukan pelayaran ilegal, pengintaian menggunakan pesawat militer dan pelaksanaan latihan militer di sepanjang wilayah Laut Cina Selatan adalah cara terbaru Tiongkok dalam melanggengkan kepemilikan atas klaim wilayah Laut Cina Selatan.

Mata-mata Tiongkok melalui Kapal Selam di Laut Cina Selatan, sumber : https://images.app.goo.gl/oPvXeEq6gWVc1mkv7

Bahkan dalam beberapa kesempatan, Tiongkok terlihat menggunakan kapal selam di Laut Cina Selatan untuk memperkuat kemampuan tempurnya di sekitar Kepulauan Spratly. Rencana Tiongkok tersebut tentunya mengundang reaksi keras dari Vietnam dan Malaysia. Vietnam mengutuk tindakan Tiongkok tersebut sebagai violation against Southeast Asian countries’ will.

Kesimpulan dan Saran

Jika boleh dianalogikan, Laut Cina Selatan adalah seperti pohon mangga yang tumbuh membelah empat kawasan tuan tanah, pemilik tanah A disebelah timur, pemilik tanah B disebelah selatan, pemilik tanah C disebelah barat dan pemilik tanah D disebelah utara. Jikalau pohon mangga itu kemudian berbuah, tentu buahnya akan mengarah ke tanah tuan A, B, C dan D dengan proporsi masing-masing, yang berarti akan ada pemilik tanah yang mendapatkan buah mangga dalam jumlah yang banyak dan ada yang mendapatkan buah mangga dalam jumlah yang tidak banyak.

Guna menyikapi hal tersebut dengan bijak — tanpa adanya permusuhan yang akan timbul kepada masing-masing pemilik tanah, maka seharusnya jika pohon mangga tersebut berbuah, masing-masing pemilik tanah berhak untuk menikmati manisnya buah mangga yang tumbuh dan mengarah ke masing-masing wilayah pekarangan mereka, karena mereka telah membantu untuk membersihkan sampah dedaunan yang jatuh dari pohon mangga tersebut, yang pada intinya, baik A, B, C maupun D telah sama-sama merawat tumbuh kembang pohon mangga tersebut.

Sebagaimana Laut Cina Selatan telah membelah beragam negara melalui jalur lautnya, maka seharusnya masing-masing negara yang dilalui atau dibelah oleh Laut Cina Selatan turut serta merasakan dampak positif dari hadirnya Laut Cina Selatan, seperti misalnya Indonesia, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia dan Filipina yang berhak atas hasil ikan di sepanjang zona ekonomi ekslusifnya yang berasal dari pembelahan terhadap wilayah Laut Cina Selatan.

Sebaiknya, guna meredam konflik yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama, Tiongkok tidak lagi menggunakan peta konvensional yang terbentuk sejak masa pemerintahan Dinasti-dinasti Kerajaan Tiongkok, dikarenakan Tiongkok juga masih bisa merasakan manfaat dari Laut Cina Selatan walaupun ia tidak dapat menggunakan peta konvensionalnya untuk mengklaim seluruh wilayah Laut Cina Selatan.

--

--

No responses yet